Desentralisasi pendidikan sebagai bagian dari konsekuensi pelaksanaan Otoda, mengharuskan sekolah untuk meletakkan landasan yang kuat bagi penyelenggaraan pendidikan di daerah yang lebih demokratis, transparan, efisien dan melibatkan partisipasi masyarakat. Salah satu langkah yang ditempuh adalah memanajemen pendidikan dengan berbasis sekolah dan melibatkan partisipasi masyarakat. Implikasinya adalah menyiapkan konsep dan peraturan yang memungkinkan realisasi pembentukan pendidikan yang bertumpu pada Manajemen Berbasis Sekolah dan pembuatan konsep tentang bentuk organisasi pendidikan serta hubungannya dengan pemerintah. Makalah ini merupakan makalah yang penulis sampaikan dalam seminar di Tuban pada Tahun 2003, dalam rangka menemukan format pendidikan masa depan dalam konteks Otonomi Daerah. Semoga membawa manfaat bagi kita semua…!

Pendahuluan

Kemajuan iptek yang pesat akhir-akhir ini telah mempengaruhi sistem tatanan kehidupan dan perubahan hampir di segala lini bidang kehidupan baik yang menyangkut sosial, politik, ekonomi maupun budaya. Hal ini menjadi penyebab kehidupan manusia merambah ke era modernisasi dan globalisasi yang membawa implikasi pada munculnya persaingan antar bangsa. Sebagai bangsa yang memiliki harkat dan martabat, tentu kita harus tanggap terhadap perkembangan yang terjadi di era global tersebut. Kemajuan tersebut harus dipandang sebagai sebuah tantangan yang perlu direspon dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara sistemik, efektif, dan efisien. Sarana yang memungkinkan untuk merespon upaya tersebut adalah melalui pendidikan.

Berbagai macam upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia telah banyak dilakukan oleh pemerintah, seperti peningkatan kemampuan tenaga pendidik, penyempurnaan kurikulum, sistem evaluasi, atau mungkin juga melalui pembinaan manajemen. Namun upaya tersebut belum menunjukkan hasil yang memuaskan dalam peningkatan SDM. Hal ini dikarenakan strategi pembangunan pendidikan lebih bersifat input-output oriented yang kurang memperhatikan proses, pengelolaan pendidikan yang sentralistik dan macro oriented, pendidikan dirancang dan diatur secara ketat. Kebijakan yang dilakukan menjadi salah satu penyebab kurangnya keleluasaan dan peluang kepala sekolah dan pemegang kepentingan untuk lebih berdaya menuju sekolah mandiri. Oleh karena itu, agar sekolah lebih berdaya, maka perlu memberikan kewenangan, kepercayaan dan kesempatan untuk mengelola sendiri lembaga sesuai dengan kondisi obyektif dengan mengacu pada pendidikan secara nasional. Dengan demikian, sekolah mempunyai otonomi luas untuk merencanakan segala sesuatu yang akan dilakukan dan diputuskan berdasarkan pada kebutuhan, tuntutan, dan cita-cita sekolah yang dirancang bersama masyarakat. Karena itu, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dikembangkan untuk meningkatkan mutu dan kualitas sekolah.

Pembahasan
Berdasarkan beberapa definisi yang pernah penulis baca dan pengalaman penulis dalam mengelola sekolah baik di tingkat di SD/MI, maupun SLTP, MBS adalah suatu model pengelolaan sekolah yang memberikan kewenangan dan otonomi lebih luas kepada kepala sekolah bersama guru, orang tua dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan menerapkan pembelajaran yang kreatif, aktif, menyenangkan dan memperoleh dukungan partisipasi masyarakat secara optimal.

MBS bertujuan untuk memberikan alternatif kepada sekolah menyediakan pendidikan yang lebih baik dan lebih memadai kepada para siswa. Otonomi dalam pengelolaan merupakan suatu potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja staff, menawarkan dan menggali partisipasi masyarakat dan kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Kehadiran MBS merupakan pengejawantahan dari bentuk diberlakukannya Otoda yang berimbas pada otonomi pendidikan, dengan demikian pendidikan harus ditempatkan sebagai institusi yang otonom dan terlindungi dari segala bentuk gangguan politik atau kepentingan apapun. Sekolah harus menjadi institusi yang netral dan terlindungi dari segala bentuk gangguan.

Karenanya, sekolah akan dapat mewujudkan dan dapat menerapkan MBS jika sekolah memenuhi 4 kriteria sebagai berikut.
Pertama, Transparansi Manajemen. Manajemen yang transparan merupakan kriteria utama dalam penerapan MBS, hal itu hendaknya dapat diwujudkan oleh sekolah karena akan menghilangkan rasa curiga dan saling tidak percaya diantara staff dan dewan guru serta masyarakat. Transparansi tidak hanya menyangkut pengelolaan dana tetapi juga menyangkut cara mengelola, proses pengorganisasian sampai dengan sumber-sumber yang terkait dengan tujuan pendidikan di sekolah. Transparansi juga harus juga dilakukan oleh guru ketika dalam melaksanakan pembelajaran di depan kelas. Guru hendaknya bersikap terbuka dalam menghadapi pembaharuan, sebab di era informasi ini bukan tidak mungkin siswa akan memperoleh informasi terlebih dahulu dibandingkan guru. Tranparansi juga harus dilakukan oleh pengelola dan pembina pendidikan dalam menghadapi kenaikan pangkat guru. Pengawas dan pembina harus mengetahui mana guru yang profesional dan manak yang tidak profesional. Penghargaan harus diberikan pada orang yang tepat bukan berdasarkan kepentingan tertentu. Semua orang harus tahu mengapa di A dipromosikan sedangkan si B dimutasikan. Kepada masyarakat dan orang tua sekolah dituntut untuk terbuka dan transparan, sekolah harus berani menyampaikan berapa dana yang diberikan oleh pemerintah dan untuk apa saja penggunaan dana tersebut. Dengan demikian, manajemen yang transparan berarti sekolah melaksanakan proses pengintegrasian sumber-sumber yang tidak berhubungan menjadi suatu sistem total untuk menyelesaikan tujuan bersama.

Kedua, Pembelajaran aktif, kreatif dan efektif. Melalui MBS diharapkan siswa akan merasakan adanya iklim belajar yang demokratis. Siswa diberi kesempatan untuk berpendapat, berbeda pandangan, tidak harus selalu menerima tanpa adanya kritisi terlebih dahulu, belajar tidak selalu bersama, tidak selalu dalam ruang kelas, bisa di luar, di pagar, dimanapun tempat bisa digunakan untuk belajar. Guru harus bisa menciptakan lingkungan yang mendorong siswa untuk lebih kreatif, karena dalam memecahkan masalah anak akan dihadapkan pada persoalan-persoalan yang menuntut diberikannya jawaban yang benar, berpikir divergen. Dalam pembelajaran yang kreatif, siswa dituntut untuk terlibat aktif dan mendalami apa yang sedang dipelajari. Belajar kreatif tidak hanya menyangkut perkembangan kognitif tetapi juga perkembangan afektif dan psikomotor. Tugas guru hanya sebagai fasilitator untuk membantu anak memaksimalkan kemampuan yang dimiliki, menuntun agar anak kreatif. Karenanya, pembelajaran harus menciptakan suasana yang mendukung partisipasi penuh dari siswa, sehingga siswa memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen yang mampu menemukan konsep-konsep yang dipelajari.

Ketiga, Pembelajaran menyenangkan. Implementasi MBS mengharuskan pemberian keleluasaan yang penuh pada guru untuk dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menimbulkan rasa ingin tahu bagi anak, anak kerasan dan betah tinggal di sekolah. Kondisi manakala kala anak berteriak kegirangan ketika jam istirahat atau jam pulang sekolah merupakan indikasi bahwa pembelajaran di sekolah belum dirancang dalam suasana yang menyenangkan. Guru lebih banyak mengejar target kurikulum daripada mengkaji lebih dalam salah satu pokok bahasan dengan berbagai aspek. Kondisi yang demikian bukan hanya merupakan kesalahan guru semata, tetapi sistem yang diterapkan selama ini memang mengharuskan yang demikian. Pembelajaran yang menyenangkan akan merangsang anak untuk berpikir kritis, analitis dan mendorong orang tua serta masyarakat untuk lebih jauh memikirkan pendidikan bagi anak-anaknya. Pembelajaran yang menyenangkan juga memungkinkan anak jauh dari hukuman, sebab hukuman hanya akan membuat anak malu dan merasa dendam. MBS dan pakemnya akan membantu anak memahami diri pribadinya, dimana ia duduk, dia memahami perbedaan diantara persamaan, dan persamaan diantara perbedaan.

Keempat, Partisipasi Masyarakat. Keterbukaan pengelolaan pendidikan di sekolah akan menimbulkan semangat yang tinggi bagi seluruh pengelolaan pendidikan di sekolah, kemudian mendorong pada penciptaan pembelajaraan aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan yang pada akhirnya akan mampu meningkatkan mutu pendidikan. Dalam MBS, partisipasi masyarakat tidak harus sama dengan antara sekolah satu dengan sekolah lain. Yang menjadi perhatian adalah sekolah harus mampu membuka diri untuk menggambarkan kondisi sekolah, dukungan yang diperoleh dari pemerintah, rencana sekolah dan lainnya yang berkaitan dengan kondisi sekolah. Disisi lain, masyarakat harus diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasinya, menerima pertanggungjawaban dari sekolah sehingga terjadi hubungan timbal balik antara sekolah dan masyarakat.

Keempat kriteria tersebut akan dapat dilaksanakan jika sekolah telah memenuhi prasyarat melaksanakan MBS, yaitu kesamaan persepsi bagi seluruh jajaran pendidikan dan masyarakat, kejelasan koridor kebijakan, perubahan pola hubungan sub ordinasi menjadi kesejawatan, perubahan sikap dan perilaku, deregulasi, tranparansi dan akuntabilitas.

Pelaksanaan otonomi daerah yang membawa dampak pada pola penanganan pendidikan memberikan peluang kepada sekolah untuk mengelola pendidikan lebih mendekati pada kebutuhan dan sumber-sumber yang dimiliki oleh daerah. Dengan adanya tuntutan demokratisasi, pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999, pembentukan komite sekolah, pengalaman pemanfaatan DBO, dan adanya peraturan baru mengenai BP3, maka peluang pelaksanaan MBS sebagai salah satu model pendidikan dapat dilaksanakan. Peluang-peluang tersebut sudah berada di depan mata, tinggal kemauan dari pemerintah untuk menerapkan sistem tersebut atau tidak, pemerintah harus lebih mengedepankan perannya hanya sebagai fasilitator bagi sekolah yang bisa memberikan ukuran atau standart mutu, penyediaan tenaga ahli, atau menjembatani hubungan sekolah dengan lembaga tertentu dalam mengembangkan sekolah.

Sebagai penutup dari tulisan ini, mengingat bahwa MBS merupakan hal yang baru dan perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, maka perlu diambil berbagai strategi yang dapat mendukung pelaksanaan MBS. Strategi-strategi tersebut adalah memperluas mitra sekolah dengan lembaga lain, mendefinisikan kembali pola hubungan antar mitra sekolah, tukar menukar pengalaman dan informasi untuk memperkuat jaringan lintas sekolah, memperjelas fungsi dan tugas setiap pelaku dalam sistem, membaut batasan kewenangan dan akuntabilitas masing-masing pelaku dalam setiap tingkat, menciptakan perangkat untuk mendukung pelaksanaan, mendorong terpenuhinya kebutuhan informasi di tingkat sekolah dan mendistribusikan kewenangan, tanggungjawab dan sumberdaya ke tingkat bawah.

Penutup
Penerapan MBS tidak bisa terjadi dengan serta merta, akan tetapi memerlukan kondisi yang dapat mendukung seperti guru dan tenaga kependidikan yang profesional, tersebarnya informasi, tersedianya tenaga konsultan teknis dan terpenting adalah adanya kebijakan pemerintah yang mendukung MBS sebagai salah satu model pengelolaan pendidikan yang diyakini dapat mendobrak mutu pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Daftar Pustaka
Darmaningtyas. 1999. Pendidikan pada & setelah Krisis. Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Unicef-Unesco dan Pemerintah RI. 2001. Pelatihan Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta.
Samani, Muchlas. 1999. School Based Management. Makalah Seminar Nasional di Universitas Negeri Malang. Program Pasca Sarjana.

Loading