Globalisasi dan modernisasi merupakan dua hal yang tidak dapat kita hindari kehadirannya. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dan menyebar demikian cepat sehingga peristiwa di satu belahan dunia dapat diketahui di belahan dunia lain dalam waktu yang singkat. Realita ini merupakan sebuah kenicayaan yang harus kita perhatikan perkembangannya dan dampaknya bagi kita khususnya generasi muda. Wadah yang tepat untuk melakukan ini adalah sekolah dengan sistem pendidikannya. Namun sayang, pendidikan di tanah air mendapatkan penilaian yang kurang baik di tingkat internasional sejak tahun 2001. Oleh karena itu, “revolusi” sistem pendidikan di tanah air harus diubah mengingat tantangan dan hambatan dalam rangka meningkatkan kemajuan zaman semakin besar. Baca Juga di blog saya

Era global telah melanda dunia berlangsung cepat dan menimbulkan dampak global yang menuntut kemampuan manusia unggul untuk mensiasati dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang sedang dan akan terjadi. Globalisasi akan membuka diri bangsa dan berhadapan langsung dengan bangsa lain. Batas-batas keadaan baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya antar bangsa semakin kabur dan hampir tidak ada sekat. Persaingan menjadi semakin ketat dan tak dapat dihindari, terutama dibidang ekonomi dan IPTEK. Negara yang unggul dalam bidang ekonomi dan penguasaan Iptek akan mampu mengambil manfaat atau keuntungan yang banyak.

Bidang ekonom misalnya, globalisasi ditandai dengan adanya persetujuan GATT pada putaran Uruguay di Marrakesh yang telah diratifikasi WTO dan dilanjutkan dengan kesepakatan APEC di Bogor tahun 1994. Pada tahun 1995, di Osaka mengupayakan terbentuknya kawasan perdagangan bebas di Asia-Pasifik pada tahun 2020. Sedangkan sejak tahun 2003, terbentuk kesepakatan bahwa kawasan perdagasan bebas (AFTA) ASEAN.

Langkah yang paling nyata adalah pada 1 Januari 2010 kemarin dibuka perdagangan bebas antara Asean dan Cina (FreeTrade Agreement ASEAN-China). Negara-negara di kawasan ini seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai, Vietnam, Filiphina, Kamboja, Laos, Thailand, dan Myanmar. Adapun kesepakatan yang dilakukan adalah bea masuk produk manufaktur China ke ASEAN, termasuk Indonesia, ditetapkan maksimal 5 persen, sedangkan sektor pertanian 0 persen tanpa pajak sama sekali. Kerangka kerja sama FTA ASEAN-China ini sebenarnya telah disepakati pada tahun 2002 di masa pemerintahan Megawati dan baru dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2010. Namun baru akhir penghujung tahun 2009 ini indonesia menyuarakan keberatannya.

Dampak yang nyata adalah produk dalam negeri menghadapi saingan yang berat, karena harga produk yang sama dari Cina harganya lebih murah. Dengan kondisi ini, mau tidak mau, cepat atau lambat membawa Indonesia memasuki babak baru yang makin rumit. Pada sisi lain, industrialisasi merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindarkan mengingat Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk sangat besar dan berpotensi untuk menjadi pasar. Masuknya investor asing mengandung konsekuensi logis berupa globalisasi. Globalisasi tidak hanya terjadi di bidang ekonomi, namun juga terjadi hampir di seluruh bidang kehidupan manusia, bidang sosial, ekonomi, pendidikan, hankam, budaya.

Perkembangan global yang paling cepat adalah bidang teknologi informasi. Penguasaan teknologi informasi merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh masyarakat jika ingin memenangkan persaingan di kompetisi global. Kondisi tersebut menuntut sumber daya manusia yang memiliki keunggulan komperatif dan kompetetif. Manusia global adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa (bermoral), mampu bersaing, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki jati diri. Salah satu wahana yang sangat strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang unggul adalah melalui pendidikan.

Kemajuan teknologi, ketersediaan modal, barang, sumber daya manusia (SDM) akan mengalir deras dari berbagai belahan dunia yang tidak mungkin dapat dihindari. Terkait dengan kondisi tersebut, tuntutan akan reformasi pendidikan (“revolusi pendidikan”) sangat diperlukan, mengingat model pendekatan pendidikan kita selama ini dinilai cenderung bersifat indoktrinatif, dogmatis, gaya bank, dan opresif birokratis, orientasi pendidikan tidak sesuai dengan jiwa dan semangat reformasi pendidikan yang mendambakan keunggulan individu, masyarakat dan bangsa di tengah-tengah era otonomi daerah, era demokratisasi, era teknologi informasi dan kehidupan global. Akibatnya kualitas SDM yang dihasilkan dari lembaga pendidikan kita relative sangat rendah dan tertinggal dengan negara-negara tetangga.

Disisi lain, kualitas pendidikan yang diandalkan sebagai wahana dalam menciptakan kualitas sumber daya manusia masih memprihatinkan. Penilaian yang pernah dipublikasikan di Harian Kompas tanggal 5 September 2001 memberitakan bahwa Abdul Malik Fajar selaku Mendikbud juga mengakui kebenaran penilaian bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih terburuk di kawasan Asia.

Political and Economic Risk Consultancy (PERC) melakukan survei yang hasilnya dari 12 negara yang disurvei menyebutkan bahwa Indonesia menduduki urutan 12, sedangkan Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina dan Malaysia. Hasil survei dari human development indeks tahun 2002, kualitas SDM kita berada di peringkat ke 110 dari 173 negara yang disurvai. Sedangkan hasil sensus BPS, rata-rata indeks pendidikan Madura berada di bawah rata-rata indeks Jawa Timur. Hal ini menunjukkan secara kuantitatif masih banyak anak-anak kita yang tidak mendapat layanan pendidikan secara memadai.

Berangkat dari kondisi tersebut, perubahan orientasi pendidikan kita harus segera dilakukan reformasi (”revolusi”) secara mendasar (mind set pelaku) pada semua komponen dalam sistem pendidikan kita. Perubahan orientasi pendidikan tidak hanya berkutat pada perubahan kurikulum semata, namun yang terpenting saat ini adalah adanya “revolusi” sikap mental, pola pikir dan perilaku pelaku pendidikan (aparat, pengelola dan pengguna pendidikan) secara mendasar. Kebijakan ini dilakukan agar dapat mewujudkan pendidikan yang lebih demokratis, memiliki keunggulan komparatif dan kompetetif, memperhatikan kebutuhan daerah, mampu mengembangkan seluruh potensi lingkungan dan potensi peserta didik serta lebih mendorong peran aktif dari masyarakat. Untuk mendukung pencapaian kondisi tersebut, pengelola pendidikan hendaknya memiliki pemahaman konsep pendidikan yang komprehensif.

Sejalan dengan era informasi dalam dunia global ini, pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam melestarikan sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan. Kondisi tersebut tidak dapat dielakkan, sebab dalam proses pendidikan tidak hanya pengetahuan dan pemahaman peserta didik yang perlu dibentuk, tetapi sikap, perilaku dan kepribadian peserta didik perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat perkembangan komunikasi, informasi dan kehadiran media cetak maupun elektronik tidak selalu membawa pengaruh positif bagi peserta didik.
Tugas pendidik dalam konteks ini membantu mengkondisikan pesera didik pada sikap, perilaku atau kepribadian yang benar, agar mampu menjadi agents of modernization bagi dirinya sendiri, lingkungannya, masyarakat dan siapa saja yang dijumpai tanpa harus membedakan suku, agama, ras dan golongan. Pendidikan diarahkan pada upaya memanusiakan manusia, atau membantu proses hominisasi dan humanisasi, maksudnya pelaksanaan dan proses pendidikan harus mampu membantu peserta didik agar menjadi manusia yang berbudaya tinggi dan bernilai tinggi (bermoral, berwatak, bertanggungjawab dan bersosialitas). Para peserta didik perlu dibantu untuk hidup berdasarkan pada nilai moral yang benar, mempunyai watak yang baik dan bertanggungjawab terhadap aktifitas-aktifitas yang dilakukan. Dalam konteks inilah pendidikan budi pekerti sangat diperlukan dalam kehidupan peserta didik di era global ini.
Disarikan dari berbagai sumber.

Loading