0341-552180 fisika.fmipa@um.ac.id

Tjandra Heru Awan, Guru Kreatif Pencipta Alat Peraga Fisika dari Barang Bekas.

Beliau ini bisa dikatakan menjadi rival Bapak Winarto (dosen Fisika Universitas Negeri Malang), yang juga satu profesi dan Hobby, kreatifitasnya tidak diragukan lagi, apapun barang bekas yang ada disekitarnya tidak dibiarkan untuk berserakan begitu saja,  pasti akan menjadi barang yang bisa digunakan untuk menarik perhatian orang lain, dalam hal ini adalah bidang FISIKA. Namun kini, beliau hanya meninggalkan kenangan untuk para pengagumnya,

Beliau terlalu dicintai oleh Alloh SWT dan dipanggil begitu cepat menghadapnya, meninggalkan sejuta pentanyaan untuk para pencari ide kreatifitas, ide brilian dan ide yang INDAH.

Lihat Tumpukan Kardus Langsung Terbayang Rumus Fisika Prihatin minimnya pembahasan dan alat peraga fisika di sekolah-sekolah, Tjandra Heru Awan mencoba berinovasi. Sejak 1976 hingga sekarang dia berhasil membuat 26 alat peraga fisika berbahan barang-barang bekas. Dari kekreatifannya itulah, kini karya-karya Tjandra dibukukan Medco Foundation.

Usianya tak muda lagi. Bulan 27 Februari lalu usianya genap 56 tahun. Namun semangatnya mengajarkan fisika dengan menyenangkan pada siswa tak pernah pudar. Bahkan, setiap waktu hatinya tergelitik ketika memandangi rumus-rumus fisika dari sebuah buku. Tangannya pun ikut gatal karena tak tahan ingin menyajikan sebuah alat peraga yang mudah, murah, dan menyenangkan.

Itulah sosok Tjandra Heru Awan, guru fisika SMAN 10 Malang. Dia dikenal jago dalam membuat alat peraga fisika dari barang-barang bekas. Alat-alat hasil racikannya tersebut tak hanya disimpan di sekolah, tapi juga memenuhi ruang tamu rumahnya yang sederhana.

“Inilah hasil karya saya. Dengan alat ini, saya ingin anak-anak tak hanya kenal fisika dari gambar, tapi tahu fakta meski hanya dari barang bekas,” ujar Tjandra di rumahnya, kawasan Jl Danau Paniai Utara II G 20 Malang, kemarin.

Saat koran ini ke rumahnya, Tjandra langsung menunjukkan sebuah alat pengeras suara dari kertas hasil racikan terbarunya. Alat sangat sederhana itu hanya berbahan kertas kalender yang tak terpakai, magnet, serta kumparan kabel. Ketika disambungkan dengan radio, suara dari radio mininya langsung terdengar keras. “Inspirasi alat ini muncul ketika saya ngobrol dengan salah satu teman di Pasar Comboran,” akunya.

Selain pengeras suara dari kertas, alat peraga lain yang juga ditunjukkan Tjandra adalah motor listrik. Alat peraga ini tak kalah sederhana. Bahan dari kertas kardus bekas, magnet, tabung boyle dari tabung jarum suntik bekas, magnet apung, cakram Newton, dan kompas dari jarum pentul.

“Kompas ini harganya hanya Rp 500. Bayangkan jika semua siswa Indonesia memanfaatkannya, maka akan terjadi penghematan yang luar biasa,” terang guru kelahiran Nganjuk, 27 Februari 1951 ini.

Untuk urusan alat-alat peraga, guru yang telah melanglang buana ke beberapa pelosok Indonesia untuk mengajarkan fisika menyenangkan ini memang tak pernah menghabiskan dana banyak. Sebab, semua alat dan bahan yang digunakan adalah barang bekas. Seperti kertas alumunium pelapis rokok (kertas grenjeng), botol air mineral bekas, kertas bekas, bambu, magnet bekas, dan sedotan.

“Prinsipnya, bagaimana menyampaikan pelajaran fisika dengan senang. Sebab, jika beli alat baru produksi pabrikan, pasti sangat mahal,” kata suami Suciati itu.

Sebenarnya alat-alat peraga yang dibuat Tjandra merupakan jawaban atas kegundahannya selama ini. Terutama tentang minimnya ruang gerak sekolah dalam mengenalkan fisika. Selain itu, selama ini siswa selalu menilai bahwa fisika sebuah pelajaran yang menjemukan dan sulit. Bahkan, itu juga yang pernah dialaminya ketika menjadi seorang murid dulu. “Saya terus bertanya bagaimana caranya belajar fisika, tapi menyenangkan,” tutur pemenang Juara I Teacher Contest JICA-UPI 2003 ini.

Kesempatan itu rupanya terjawab. Ketika menjadi guru matematika di sebuah SMA katolik di Jember 1976 silam, dia mulai terpancing mengutak-atik barang bekas. Saat itu dia tidak hanya menjadi guru matematika, tapi juga fisika. “Kebetulan di SMA katolik itu banyak sekali peninggalan Belanda, jadi saya bisa berekspresi bebas. Saya masih ingat, alat peraga pertama adalah memperagakan tumbukan berbahan bola kasti,” terang alumnus D3 Matematika IKIP Malang – sekarang UM – tahun 1975 itu.

Beberapa tahun mengajar di Jember, Tjandra memutuskan hijrah ke Kota Malang. Dia pun berniat meneruskan kuliah S1 bidang yang sama. Sayangnya, niat itu tak pernah terwujud karena putra pertamanya menderita penyakit berkepanjangan. “Waktu itu saya benar-benar diuji Allah. Yang penting bisa meneruskan hidup, anak-anak tetap sekolah. Itu saja,” ucapnya.

Bahkan, dalam kondisi susah itu, Tjandra sempat mengajar di salah satu SMA swasta di kawasan Turen. Setelah 10 tahun berlalu dan mencoba mengadu nasib lewat tes CPNS, akhirnya diterima dan ditempatkan di Kediri. “Saya lima tahun bolak-balik Kediri-Malang. Baru setelah itu mutasi ke SMPN 17,” ujar bapak empat anak ini.

Ketika mulai konsentrasi mengajar di Malang itulah, Tjandra semakin giat membuat alat peraga fisika. Awalnya, tak pernah sekali pun dia ingin mengikuti ajang kompetisi. Sebab, tujuan utamanya dari alat-alat ini hanya menyenangkan siswa. “Saya tahu anak-anak tak mungkin semuanya menjadi ahli fisika. Tapi, minimal mereka memiliki memori menyenangkan tentang pelajaran ini,” ujarnya berharap.

Namun karena banyaknya alat yang dibuat, akhirnya teman-temannya mendorong mengikuti kompetisi sains. Hasilnya, empat kali dia menggondol juara dalam ajang Teacher Contest Sains is Fun. Bahkan, karena prestasi itu seorang guru besar Jepang pernah singgah ke rumahnya dan melihat hasil karya Tjandra.

Karena prestasi itu pulalah Tjandra didaulat Sampoerna Foundation menjadi tutor dalam pelatihan fisika menyenangkan di beberapa kawasan Indonesia. “Sejak saat itu saya merasa Allah SWT memanjakan betul. Semua yang saya mau terkabul,” kata dia.

Bahkan, belum lama ini Tjandra dilirik Medco Foundation untuk menjadi pembicara konggres guru se-Indonesia di Jakarta. Selain itu, karya-karyanya dibukukan dalam format animasi dan akan disebarkan di daerah-daerah terpencil. Bahkan, dua hari lagi dia harus terbang ke Jakarta untuk mengoreksi buku itu sebelum dicetak.

Tjandra juga mendapat hadiah istimewa dari Medco karena diberangkatkan ibadah haji bersama sang istri. “Ini benar-benar hadiah yang sangat istimewa. Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Maha besar Allah,” bebernya sembari menerawan. (*)

Sumber : Jawa Pos (27 Juli 2007)